Apa
yang sebenarnya mendasari Prof. Widjajono Partowidagdo, pakar migas yang juga
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, melakukan
pendakian yang berujung maut di Gunung Tambora di Pulau Sumbawa pada 20-21
April 2012 lalu, hanya beliau dan Tuhan
yang tahu. Kita hanya bisa mengira-ira. Selain menjalani hobi yang sudah mendarah daging dan turut berpartisipasi dalam aktivitas Female Trackers for Lupus, pak Wid mungkin juga sedang merapal mantra para pendaki: karena gunung itu ada di sana. Di sisi lain beliau juga mungkin hendak turut berusaha mempopulerkan nama gunung yang baru dua minggu sebelumnya mengalami penurunan status dari Waspada (tingkat 2) menjadi Aktif Normal (tingkat 1) di ranah domestik. Tambora memang jauh lebih dipahami rekan-rekan kita di mancanegara dibanding kita yang anak negeri. Bagi sebagian dari kita, Tambora mungkin hanya terdengar sayup-sayup sampai. Peristiwa kontemporer menonjol hanyalah heboh bertahun silam tatkala vulkanolog legendaris Haraldur Sigurdsson bersama Igan Supriatman Sutawidjaja (PVMBG) menggali sepenggal lereng gunung tersebut dan menemukan bukti tak terbantahkan tentang letusan 1815 yang menghancurkan peradaban di lereng gunung.
yang tahu. Kita hanya bisa mengira-ira. Selain menjalani hobi yang sudah mendarah daging dan turut berpartisipasi dalam aktivitas Female Trackers for Lupus, pak Wid mungkin juga sedang merapal mantra para pendaki: karena gunung itu ada di sana. Di sisi lain beliau juga mungkin hendak turut berusaha mempopulerkan nama gunung yang baru dua minggu sebelumnya mengalami penurunan status dari Waspada (tingkat 2) menjadi Aktif Normal (tingkat 1) di ranah domestik. Tambora memang jauh lebih dipahami rekan-rekan kita di mancanegara dibanding kita yang anak negeri. Bagi sebagian dari kita, Tambora mungkin hanya terdengar sayup-sayup sampai. Peristiwa kontemporer menonjol hanyalah heboh bertahun silam tatkala vulkanolog legendaris Haraldur Sigurdsson bersama Igan Supriatman Sutawidjaja (PVMBG) menggali sepenggal lereng gunung tersebut dan menemukan bukti tak terbantahkan tentang letusan 1815 yang menghancurkan peradaban di lereng gunung.
letusan Tambora dalam lukisan (meteoweb.eu) Source Foto:indocropcircles.wordpress.com |
Kaldera
Gunung Tambora, sisa kedahsyatan letusan 1815. Sumber: JGI, 2006.
Dan
April menjadi bulan istimewa bagi Tambora, sebab pada saat pak Wid
dipanggil-Nya di puncak gunung itu, tepat 197 tahun silam pula gunung ini
menggegerkan pentas dunia dengan aksi kolosalnya. Dan apa yang sebenarnya
terjadi hampir dua abad silam itu barulah bisa dipahami dengan jelas dalam
setengah abad terakhir ini, khususnya tatkala dunia memasuki abad nuklir. Lebih
jelasnya, tatkala dunia tengah dicengkeram ketakutan meletusnya perang nuklir
di antara dua adidaya pada puncak perang dingin dan pada saat bersamaan
mengapunglah hipotesis TTAPS yang menggemparkan segenap kalangan. Hipotesis
TTAPS, diambil dari huruf depan lima ilmuwan pencetusnya (yakni Turco, Toon,
Pollack, Ackerman dan Sagan), secara lugas menyebutkan, jika kita nekat
meledakkan seluruh arsenal nuklir di Bumi, maka debu produk ledakan akan
membumbung tinggi ke stratosfer dan menjadi tirai penahan cahaya Matahari yang
efektif dalam jangka waktu tertentu. Akibatnya pancaran sinar Matahari di
permukaan Bumi menjadi berkurang, yang berimplikasi pada menurunnya suhu global
dengan segala akibatnya mulai dari kekurangan bahan pangan global hingga
persebaran penyakit melampaui batas-batas wilayah tradisionalnya. Terminologi
musim dingin nuklir (nuclear winter) pun muncul. Kengerian itu yang
konon menjadi salah satu faktor pendorong AS dan Uni Soviet melakukan
serangkaian perundingan yang berujung manis, disepakatinya Perjanjian
Pembatasan Senjata Nuklir Strategis pada 1991.
Jika
faktor penyebab injeksi debu ke stratosfer digantikan dengan sumber lain,
misalnya letusan dahsyat gunung berapi, hasilnya kurang lebih sama. Dan Letusan
Tambora 1815 menyajikan bukti telanjang musim dingin tak biasa akibat letusan
gunung berapi atau volcanic winter. Masalahnya fakta-fakta semacam ini
baru kita ketahui di era sekarang, tidak pada dua abad silam dan khususnya
tidak diketahui oleh salah satu manusia besar dalam sejarah: Napoleon
Bonaparte.
Dua ilmuwan sedang menyelidiki bekas-bekas peradaban yang telah lenyap di dekat gunung Tambora. Source Foto:indocropcircles.wordpress.com |
Mari
kita ikuti kisah Tambora. Gunung Tambora adalah gunung api strato yang secara
administratif terletak di Nusa Tenggara Barat. Secara geografis gunung ini
tumbuh dan berdiri di atas semenanjung Sanggar, diapit teluk Saleh di selatan
dan Laut Flores di utara. Gunung Tambora berdiri di atas reruntuhan induknya dalam
kaldera tua Kawindana Toi, diapit kaldera Satonda di utaranya. Sebelum 1815,
gunung Tambora adalah gunung tertinggi di kawasan ini dengan puncak setinggi
4.300 meter dpl. Demikian tingginya sehingga gunung ini bahkan bisa dilihat
dari lokasi yang cukup jauh seperti pantai timur pulau Bali. Di kaki gunung
tumbuh dan berkembang tiga kerajaan kecil nan makmur, masing-masing kerajaan
Sanggar, Pekat dan Tambora.
Letusan
ultraplinian Pinatubo 1991 (Filipina) menjelang puncaknya. Seperti inilah
gambaran dasar Letusan Tambora 1815. Hanya saja letusan Tambora limabelas kali
lipat lebih besar dibanding Pinatubo. Sumber : US Air Force, 1991.
Gunung
Tambora mulai menunjukkan peningkatan aktivitas sejak 1812. Namun pada 5 April
1815, Tambora mulai memasuki fase baru dengan letusan magmatik, yakni letusan
yang melibatkan pengeluaran magma dari kepundannya. Kombinasi dalamnya dapur
magma, sangat kentalnya magma yang diletuskan dan tingginya kadar gas-gas
vulkanik menyebabkan letusan magmatik tersebut bertipe letusan Plinian, letusan
yang paling spektakuler sekaligus paling merusak. Puncaknya, pada 11 April 1815
Tambora memuntahkan segenap kemampuannya dengan letusan Plinian ekstrem atau
Ultraplinian. Kepulan pekat awan panas dan debu vulkanik bercampur gas menjulur
tinggi dari tiga titik di puncak, ibarat lengan raksasa kehitaman sedang
berusaha menjebol langit. Secara keseluruhan gunung ini menyemburkan 150
kilometer kubik magma, yang dilontarkannya hingga ketinggian 43 km dalam sebuah
letusan super-kolossal dengan skala 7 VEI. Ini adalah skala letusan tertinggi
yang pernah tercatat dalam sejarah tertulis peradaban manusia. Energi yang
dilepaskannya sungguh luar biasa, mencapai 34.000 megaton TNT atau 1,5 kali
lebih besar dibanding seluruh energi yang tersimpan dalam seluruh arsenal
nuklir dalam puncak perang dingin. Sebagai pembanding, energi letusan Krakatau
1883 (yang jauh lebih populer itu) hanya seperdelapan letusan Tambora 1815.
Kawah Tambora saat ini, diameter 6,5 – 7 km, dalam 1-1,2 km Source Foto: indocropcircles.wordpress.com |
Gemuruh
suara letusan Tambora terdengar hingga Pulau Sumatra. Thomas Raffles, gubernur
jenderal Inggris di Indonesia sat itu, yang sedang berada di Yogyakarta
mencatat dentuman demi dentuman laksana rentetan tembakan meriam, disusul
dengan menggelapnya langit dan menurunnya suhu. Bahkan Raffles pun mencatat
turunnya salju! Sebagian debu letusan Tambora menyebar hingga 1.300 kilometer
dari gunung. Kedahsyatan itu menyebabkan lingkungan sekitar gunung mengalami
dampak terparah. Awan panas mengalir deras dan mengubur hidup-hidup tiga
kerajaan di kakinya. Volume awan panas demikian luar biasa sehingga mengalir
hingga sejauh 20 kilometer ke utara sampai mencapai pesisir Laut Flores.
Masuknya awan panas ke laut menerbitkan tsunami dan tercatat ada 3 tsunami
terbentuk, yang menjalar dengan kecepatan rata-rata 250 km/jam. Tsunami
terasakan hingga pesisir utara Jawa Timur sebagai kenaikan air Laut Jawa
setinggi 1 hingga 2 meter. Dahsyatnya letusan membuat 37 % tubuh gunung
terpenggal, hingga tersisa kaldera bergaris tengah 7 kilometer seperti bisa
kita saksikan saat ini.
Peta
sebaran debu Letusan Tambora 1815. Angka menunjukkan batas ketebalan debu dalam
sentimeter. Sumber : JGI, 2006.
Dampak
global letusan Tambora 1815 disebabkan oleh semburan debu vulkanik hingga
memasuki lapisan stratosfer. Bersama 200 juta ton asam sulfat (produk reaksi
gas belerang dengan butir-butir air), sirkulasi global atmosferik menyebabkan
debu dan asam sulfat itu tersebar ke segenap penjuru sekaligus menjadi tabir
surya nan efektif. Akibatnya intensitas sinar Matahari di permukaan Bumi
merosot, hingga tinggal 75 % dari normal. Ini berimplikasi pada penurunan suhu
global sebesar rata-rata 1 derajat Celcius yang diikuti anomali cuaca,
kekurangan bahan pangan, kelaparan dan persebaran penyakit. Korban jiwa akibat
letusan Tambora 1815 di pulau Sumbawa saja sekitar 100.000 orang. Namun anomali
cuaca yang menyebabkan kelaparan dan membuat penyakit merebak lebih luas
menyebabkan korban jiwa secara global jauh lebih besar, meski angka pastinya
tak bisa dihitung. Meski demikian masih ada keberuntungan dibalik letusan ini,
karena dampaknya hanya membuat kita berjarak beberapa langkah dari pintu
gerbang zaman es yang dingin membekukan. Jika letusan Tambora 1815 sepuluh kali
lebih dahsyat, pintu gerbang itu pasti akan terlalui dan sejarah bakal berubah
total.
Saat
Tambora meletus, Eropa sedang bersiap menghadapi peristiwa besar. Napoleon
Bonaparte, kaisar Perancis yang telah dimakzulkan sebelumnya dan dikurung di
pulau Elba, berhasil meloloskan diri per 1 Maret 1815 dan kembali ke Perancis,
memulihkan kekuasaannya. Segera ia mempersiapkan pasukan menghadapi koalisi
Austria, Prussia, Rusia dan Inggris Raya. Perang Koalisi ketujuh pun berkobar.
Hal yang tak disadari Napoelon, alam seakan tak mendukung manuver pasukannya.
Peralatan berat dan logistik yang yang sudah disiapkan tak bisa efektif
dimanfaatkan ke medan perang akibat jalanan berlumpur oleh hujan yang turun
terus-menerus di awal musim panas yang seharusnya terik. Anomali cuaca ini tak
diantisipasi Napoleon. Strateginya pun berantakan oleh tekanan demi tekanan
pasukan koalisi, yang memaksanya bertekuk lutut pada Pertempuran Waterloo.
Hanya 100 hari setelah kembali menduduki kursi kekaisaran, Napoleon secara
pahit harus meninggalkannya. Putus asa tak bisa meninggalkan Perancis dengan
aman, Napoleon akhirnya menyerahkan diri kepada kapten kapal HMS Bellerophon,
yang membawanya ke pengasingan terakhir berujung maut di pulau Saint Helena.
Tanpa
disadari Napoleon, salah satu faktor kekalahannya dalam pertempuran Waterloo
sudah dipastikan sejak pertengahan April 1815 dari tempat yang berjarak ribuan
kilometer, yakni dari Gunung Tambora, Indonesia. Dan hampir dua abad kemudian,
gunung yang sama kembali menaklukkan sosok pemberani lainnya. Selamat jalan pak
Wid. Doa kami menyertaimu.
Pak
Wid, saat baru dinaikkan ke jeep di pos 3 Gunung Tambora pada ketinggian 2.000
meter dpl sebelum dibawa turun. Meski tim penjemput menduganya sudah wafat,
kepastiannya baru diperoleh setelah dilakukan pemeriksaan medis.
Sumber :
Kompas.com dan Youtube, 2012.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berikan Saran dan Kritik yang membangun